Mengenal Lebih Jauh, Golongan Yang Berhak Menerima Zakat

Mengenal Lebih Jauh, Golongan Yang Berhak Menerima Zakat


Penulis: Public Relation PYI
07 Jan 2023
Bagikan:
By: Public Relation PYI
07 Jan 2023
151 kali dilihat

Bagikan:

Sebagaimana Allah berfirman di dalam kitab suci-Nya Al-Qur'an surat At-Taubah ayat 60. 8 golongan asnaf yang berhak untuk menerima zakat adalah fakir, miskin, amil/pengurus zakat, muallaf, riqab, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil.

Masing-masing mustahik dengan kriterianya adalah sebagai berikut.

1. Fakir

Orang yang tergolong fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga serta fasilitas yang dapat digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pokok/ dasarnya. 25 Pengarang al-Muhazzab menulis definisi faqir sebagai berikut:

Fakir adalah orang tidak memiliki sesuatu (usaha/ alat/ media) kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya”.

Dari definisi ini dapat dilihat bahwa fakir merupakan suatu keadaan ekonomi yang amat buruk pada seseorang. Usahakan memiliki penghasilan tetap, alat untuk bekerja saja tidak punya. Jika akan diangkakan mungkin yang didapat hanya dua atau tiga sementara kebutuhannya sepuluh (2:10).27

2. Miskin

Orang yang dikategorikan sebagai miskin adalah orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan.

 “Orang miskin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan biaya hidup, tetapi tidak cukup kebutuhan hidupnya dan dalam Keadaan kekurangan”.

Dari definisi ini diketahui bahwa orang miskin nampaknya memiliki sumber penghasilan, hanya saja masih tetap mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan primer hidupnya.

Persamaan keduanya adalah bahwa keduanya adalah kelompok orang Dengan persamaan dan perbedaan antara fakir dan miskin. Maka agak sulit untuk memberikan batasan yang pasti mengenai perbedaan antara keduanya. Persamaan keduanya adalah bahwa keduanya adalah kelompok orang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok. Sementara itu, perbedaan antara keduanya adalah bahwa orang yang tergolong fakir adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan dan tidak mempunyai alat kerja untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Sedangkan miskin adalah mereka yang memiliki penghasilan dan alat kerja tetapi penghasilan tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan pokoknya.

Bahkan ada ulama yang mengatakan fakir lebih parah keadaan ekonominya dibanding miskin, tetapi ada pula diantara ulama yang berpendapat sebaliknya. Miskin lebih terpuruk ekonominya dibandingkan dengan fakir. Namun demikian, yang jelas, sesuai dengan arti harfiyah faqr yaitu berharap dan arti harfiyah sakana yaitu diam/ tidak banyak gerak/ mobilitas rendah. Maka orang yang tergolong faqir adalah orang yang sepanjang hidupnya untuk memenuhi kebutuhannya selalu berharap dari uluran tangan orang yang lebih beruntung di bidang ekonomi. Sementara orang yang termasuk kategori miskin adalah orang yang dalam hidupnya tidak mampu bergerak secara leluasa untuk berusaha karena keterbatasan modal dan fasilitas.

Terlepas dan siapa yang lebih buruk keadaan ekonominya di antara fakir atau miskin, yang jelas mereka, baik fakir maupun miskin, adalah orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar atau hajat hidupnya. Batas pemisah antara status fakir / miskin dengan kaya adalah kepemilikan terhadap nisab hartanya.

Kadar saham yang disalurkan kepada kedua golongan fakir dan miskin ini tentu disesuaikan antara kebutuhan mereka dengan kemampuan dana zakat yang tersedia. Tetapi sebaiknya mereka diberi saham yang mencukupi kebutuhannya. Saiyidina Umar Ibnu al-Khaththab ra. berkata:

“Apa bila kamu memberi mereka (fakir dan miskin bagian dari zakat), maka berikanlah sejumlah yang akan mencukupi mereka”.

3. Amil/Pengurus zakat

Secara bahasa amil berarti pekerja (orang yang melakukan pekerjaan).

Dalam istilah fikih amil didefinisikan:

“Amil adalah orang yang diangkat oleh pemerintah (imam) untuk mengumpulkan dan mendistribusikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya”.

Di Indonesia amil biasanya disebut pengurus/ pengelola zakat, yaitu: orang yang diberi tugas untuk mengurus dan mengelola (mengumpulkan, memelihara/ mengembangkan, dan membagikan) zakat.

Secara terminology (sebagai mana yang ditunjuk/ diisyaratkan oleh al-Qur'an dan hadits) "Pengurus zakat" atau amil zakat adalah badan yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan wewenang mengelola zakat (mengumpulkan, membukukan, dan mendistribusikan dana zakat serta membina para muzakki dan mustahik).

Adapun orang atau kelompok masyarakat yang diangkat atau ditunjuk oleh masyarakat itu sendiri atau mengangkat dirinya sendiri sebagai amil zakat. Seperti yang terjadi selama ini, sesungguhnya mereka belum layak disebut sebagai amil zakat; sebab sejak zaman Rasulullah SAW. para amil pengumpul zakat selalu orang yang ditunjuk atau diangkat oleh Pemerintah.

Setidaknya ada empat unsur dalam sebuah badan amil zakat, yaitu: al-su'ah (pengumpul), al-Katabah (administrator), al-Hazanah (penjaga/pemelihara/ pengembang), dan al-qasamah (distributor).

Kepada para anggota amil zakat yang tidak mendapat gaji khusus dan pemerintah sebagai imbalan atas pekerjaannya mengelola zakat, sekalipun mereka tergolong orang yang kaya- diberikan hak untuk mendapat dan menerima dana zakat sebagai penghargaan kepada mereka atas amal bakti yang mereka sumbangkan. Adapun besarnya bagian mereka tentu disesuaikan dengan keadaan.

Agar dapat ditunjuk sebagai amil zakat dan mampu menjalankan tugasnya dengan baik hendaklah yang bersangkutan memenuhi syarat utama dan syarat pendukung. Syarat utamanya adalah: 1) bukan termasuk keluarga Rasulullah SAW. dan atau Bani Hasyim atau Bani Abdul Muttalib, 2) Islam, 3) adil, 4) amanah, 5) memiliki waktu yang cukup. Sementara itu, syarat pendukung untuk menjadi amil zakat adalah memiliki kemampuan ekonomi yang mencukupi.

Syarat ini diadakan dengan tujuan agar kesulitan ekonomi yang dialami tidak mengganggu kelancaran tugasnya dan tidak akan menimbulkan su'uzzan (buruk sangka) orang kepada yang bersangkutan.

BACA JUGA: Laznas PYI Berpartisipasi Dalam Ajang Indonesia Giving Fest, Zakat Expo 2022

4. Muallaf.

Secara harfiah kata muallaf berarti orang yang dijinakkan. Sedangkan menurut istilah fikih zakat "muallaf" adalah orang yang dijinakkan hatinya dengan tujuan agar mereka berkenan memeluk Agama Islam dan atau tidak mengganggu umat Islam atau agar mereka tetap dan mantap hatinya dalam Islam atau dari kewibawaan mereka akan menarik orang non muslim untuk memeluk agama Islam.

Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa muallaf ada dua macam, yaitu: Pertama; Orang yang sudah menganut Agama Islam. Muallaf semacam ini terbagi dua pula, yaitu:

  1. Muslim yang imannya masih dalam keadaan lemah. Dalam keadaan semacam ini muallaf diartikan sebagai upaya membujuk Kati mereka agar tetap dalam keislamannya.
  2. Muslim (mantan kafir) yang memiliki kewibawaan terhadap kawan-kawan dan kerabatnya yang masih kafir, sehingga dengan kewibawaan itu diharapkan mereka akan mengikuti jejaknya memeluk Agama Islam.

Kedua; Orang yang masih kafir. Mereka ini terbagi dua pula, yaitu:

  • Orang kafir yang dikhawatirkan akan mengganggu orang Islam. Kepadanya diberikan zakat dengan maksud menjinakkan dan melembutkan hatinya untuk tidak mengganggu.
  • Orang kafir yang dapat diharapkan untuk masuk ke dalam Islam. Kepada mereka diberikan zakat dengan harapan hatinya tertarik untuk menganut Agama Islam.

5. Riqab (Budak).

Menurut bahasa riqab berasal dari kata raqabah yang berarti leher. Budak dikatakan riqab karena budak bagaikan orang yang dipegang lehernya sehingga dia tidak memiliki kebebasan berbuat, hilang kemerdekaannya, tergadai kemerdekaannya.

Yang dimaksud dengan riqab dalam istilah fikih zakat adalah budak (hamba) yang diberikan kesempatan oleh tuannya mengumpulkan harta. Untuk menebus/membeli kembali dirinya dari tuannya. Istilah lain yang digunakan oleh ulama fikih untuk menyebut riqab adalah mukatab, yaitu hamba yang oleh tuannya "dijanjikan akan dimerdekakan apa bila hamba tersebut mampu membayar sejumlah uang/harta". Zakat diberikan kepadanya dalam rangka membantu dia membayar uang yang dijanjikan tuannya itu. Namun demikian, yang bersangkutan tidak boleh menerima zakat dari tuannya (tuannya tidak boleh berzakat kepada riqanya) karena akan terjadi perputaran harta secara semua, yaitu dari tuan ke tuan. Imam al-Bajuri (I : 294) menyebutkan:

“Adapun Tuan yang memiliki hamba mukatab (riqab) tidak boleh memberikan zakatnya kepada hamba mukatabnya tersebut, karena kemanfaatan pemberian tersebut akan kembali kepadanya lagi”.

Pada zaman sekarang ini mustahik riqab sudah tidak ada lagi. Dan ini tidak bisa dikembangkan. Adapun pendapat sebagian orang yang mengatakan bahwa riqab dapat diqiyaskan dengan membebaskan pars wanita tuna susila (pelacuran) dari cengkraman mucikari adalah pendapat yang tidak tepat. Hal ini dikarenakan qiyasnya yang tidak memenuhi syarat. Orang-orang semacam ini sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam kelompok riqab, tetapi dimasukkan ke dalam kategori fisabilillah.

6. Gharimin (Orang yang berhutang).

Yang termasuk kategori gharim adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.

Perlu ditegaskan Apa bila orang yang berhutang tersebut mampu membayarnya, maka beban pembayaran hutang itu ditanggungkan kepadanya, yang bersangkutan tidak berhak menerima zakat sebagai gharim, kecuali gharim yang berhutang untuk membiayai usaha meredam permusuhan yang diduga berat akan mengakibatkan pertumpahan darah atau pembunuhan. Untuk kasus semacam ini kepada gharim tersebut diberikan bagian zakat sekedar cukup membayar hutangnya.

Syarat tidak mampu membayar ini perlu ditegaskan agar jangan sampai ada upaya untuk melakukan penyimpangan dalam pendistribusian zakat. Misalnya, seorang pemuka masyarakat membangun sebuah gedung untuk kepentingan pesantren dengan nilai Rp. 200.000.000,-. Biaya tersebut didapatnya dari berhutang dan dia tidak mampu membayarnya, lalu dia meminta kepada pengurus zakat agar membayar hutangnya itu, maka pengurus harus meneliti dengan cermat proses terjadinya pembangunan dan hutang tersebut. Setelah itu baru pengelola membuat keputusan seperti:

  1. Ghorim pada mulanya adalah orang yang kaya dan memang mampu secara ekonomi untuk membangun gedung dimaksud, bukan memaksakan diri. Lalu karena sesuatu dan lain hal yang bersangkutan jatuh bangkrut, sehingga tidak mampu lagi membayar hutangnya. Dalam kasus semacam ini gharim tersebut berhak mendapatkan bagian dana zakat untuk melunasi hutangnya.
  2. Ghorim memang sejak semula tidak mampu secara ekonomi untuk membangun gedung tersebut, tetapi karena keinginannya menyumbang dia paksakan dirinya untuk berhutang, maka sudah barang tentu yang bersangkutan tidak akan mampu membayar hutang tersebut.

Dalam kasus semacam ini pengelola tidak boleh memberikan dana zakat kepada yang bersangkutan, karena:

  1. Kesalahan yang bersangkutan memaksakan diri berbuat sesuatu yang dia tidak mampu melakukannya.
  2. Jika pengelola memberikannya maka dikhawatir-kan akan menjadi akal-akalan oleh pihak tertentu untuk mendapatkan dana secara paksa dari pengelola zakat. Padahal mash ada yang lebih penting dari pembangunan gedung tersebut.

Dalam kasus ke dua ini sebaiknya yang bersangkutan sebelum membangun memberitahu-kan kepada amil/pengelola zakat bahwa di tempat itu dibutuhkan gedung sekolah sementara dananya tidak ada, sehingga amil/ pengelola zakat bisa mem-programkannya secara baik melalui kelompok fisabilillah dengan mempertimbangkan skala prioritas yang telah mengembangkan anti ditetapkan.

BACA JUGA: Laznas PYI telah menyalurkan Program kepada 1.462 Penerima Manfaat Bulan Desember 2022

7. Fisabilillah.

Secara harfiah fisabilillah berarti "pada jalan menuju (ridla) Allah". Dari pengertian harfiyah ini terlihat cakupan fisabilillah begitu luas, karena menyangkut semua perbuatan-perbuatan baik yang disukai Allah. Jumhur ulama memberikan pengertian fisabilillah sebagai "perang mempertahankan dan memperjuangkan agamaAllah yang meliputi pertahanan Islam dan kaum muslimin."

Kepada para tentara yang mengikuti peperangan tersebut, sedangkan mereka tidak mendapatkan gaji dari Negara, diberikan bagian dana zakat untuk memenuhi kebutuhannya. Namun demikian, ada di antara mufassirin yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

8. Ibnu Sabil

Secara bahasa ibnu sabil terdiri dari dua kata: ibnu yang berarti "anak" dan sabil yang berarti jalan. Jad;

ibnu sabil adalah anak jalan, maksudnya orang yang sedang dalam perjalanan. Yang dimaksud dengan perjalanan di sini adalah perjalanan yang bukan untuk maksiat. Ibnu sabil  merupakan istilah lain dari musafir terutama dalam term fikih zakat. Hanya saja istilah ibnu sabil memiliki arti konotasi "orang yang kehabisan biaya (ongkos) dalam perjalanannya."

Makna konotasi ini dipahami dari isyarat yang ditunjukkan oleh delapan ayat al-Qur'an yang menyebutkan kata ibnu sabil secara bersama-sama tanpa terpisah dengan kata al-masakin (orang-orang yang miskin).

Ini menunjukkan/mengisyaratkan bahwa ibnu sabil adalah kelompok orang-orang yang dalam kesulitan ekonorni dan harus mendapat perhatian penuh dari saudaranya yang memiliki kemampuan finansial. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ibnu sabil adalah "orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan perjalanan maksiat dan dia mengalami kesengsaraan, dalam hal ini kekurangan/kehabisan ongkos, dalam perjalanannya." Kepadanya diberikan bagian dana zakat sekedar mencukupi biaya yang ia butuhkan untuk sampai ke tempat tujuannya.

Sc:Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengumpulan Zakat Kemenag RI

Penulis: Public Relation PYI
Tags: #4 - Program #5 - Sosial #9 - Zakat #38 - anakyatim #74 - ZakatAkhirTahun #94 - #EkonomiProduktif

Berita Lainnya

Mitra I Love Zakat
WhatsApp