Zakat merupakan salah satu pilar penting dalam agama Islam yang memiliki peran signifikan dalam menyucikan harta dan membantu sesama. Dalam pelaksanaannya, amalan ini tidak hanya berfungsi sebagai kewajiban keagamaan, tetapi juga sebagai bentuk solidaritas sosial untuk membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan.
Dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi, pentingnya amalan ini dan manfaatnya bagi individu dan masyarakat secara luas tercermin.
Al-Qur’an menjelaskan pentingnya zakat dalam beberapa ayat, salah satunya adalah Surah Al-Baqarah (2:110):
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ ۗ وَمَا تُقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْ مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوْهُ عِنْدَ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ ١١٠
“Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Segala kebaikan yang kamu kerjakan untuk dirimu akan kamu dapatkan (pahalanya) di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.
Ayat ini menegaskan bahwa zakah merupakan bagian dari amal kebajikan yang akan mendatangkan pahala dari Allah.
Namun, dana zakat sendiri tidak bisa sembarangan untuk disalurkan. Lalu siapakan yang tidak berhak menerimanya? dibawah ini kita akan memaparkan siapa saja yang tidak berhak menerima zakah:
Berikut beberapa golongan yang tidak berhak menerima zakat sebagaimana dikutip dari buku Tanya Jawab Zakat karya Kementian Agama RI.
orang yang sudah memiliki kekayaan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka sendiri dan keluarganya tidak berhak menerima hasil zakat. Amalan ini, yang merupakan kewajiban bagi umat Islam, seharusnya digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hal tersebut sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad Salallahu alaihi wassalam:
“Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga.” (HR Bukhari).
orang yang memiliki kemampuan fisik dan mental yang memungkinkan mereka untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan sendiri seharusnya tidak berhak menerimanya, kecuali dalam situasi darurat atau keadaan yang menghalangi mereka untuk bekerja.
"Sedekah (zakah) tidak halal bagi orang kaya atau orang yang memiliki kemampuan (untuk mencari harta)." (HR Ahmad).
BACA JUGA:
Ada dua pendapat pertama menyatakan tidak boleh memberikan zakat kepada orang kafir, sekalipun kepada kafir dzimmi. Pendapat kedua menyatakan boleh, berdasarkan riwayat bahwa, Umar Ibn Khattab membagikan zakat kepada kafir dzimmi dengan syarat mereka benar-benar fakir dan tidak mampu bekerja.
Zakat kepada istri juga tidak diperbolehkan. Ulama Ibnu al-Mundzir menyebut hal ini karena menafkahi istri menjadi kewajiban suami. Dengan demikian, istri tidak perlu menerima dari suaminya.
"Para ulama sepakat bahwa suami tidak memberi zakat kepada istrinya. Sebab, menafkahi istri adalah kewajibannya, sehingga dengan nafkah tersebut istri tidak perlu menerima zakat, sama seperti kedua orang tua." katanya.
Tetapi menurut Ibn Taimiyah dalam mazhab Ahmad ibn Hambal boleh memberikannya kepada anak atau orang tua, asalkan mereka tidak ada pekerjaan yang menghasilkan pendapatan lebih dari kebutuhan mereka sendiri. Termasuk diperbolehkan guna pembayaran hutang mereka.
Menurut Ibnu Taymiyah, tidak boleh memberikan zakah kepada ahli maksiat, sampai mereka bertobat, karena tidak pantas bagi mereka.
Dalam hal ini, Abu Zahra berbeda pendapat. Menurutnya, Nabi sendiri pernah menolong orang-orang musyrik ketika terjadi bencana menimpa mereka. Dengan kata lain, jika berbuat baik kepada orang musyrik diperbolehkan, apakah pantas menurut logika Islam untuk membiarkan orang yang maksiat terlantar kelaparan sampai menunggu la bertobat.
Tentunya dengan harapan mereka terbuka hatinya untuk bertobat. Demikian lanjut Abu Zahra. Disamping itu, ayat yang berbicara tentang ashnaf delapan, juga tidak membedakan antara mereka yang baik dan yang berbuat maksiat.
Penulis: Public Relation PYI
Tags:
#4 - Program
#9 - Zakat
#69 - BerkahnyaZakatMembahagiakan
#74 - ZakatAkhirTahun
#92 - PeranZakat
#117 - PYI